Cari di Sini

Senin, 14 Juni 2010

GURU KEHIDUPAN (musical journey 2)


PENDAR sinar lampu merkuri cukup terang di tengah Taman Suropati. Bias cahayanya mampu membuat mataku mengenali sosok-sosok yang sedang duduk-duduk berkumpul di tengah taman, dekat gemericik air mancur di tengah.

Seorang lelaki paruh baya sedang menari ringan sambil menggerakkan mulutnya menyanyikan sesuatu. Lelaki tua berbaju kaos berkerah dan celana panjang yang telah dipakai selama lebih dari satu tahun itu seakan menyatu dengan terang merkuri.

Di sekitarnya ada seorang pemain biola, bas betot, kencrung, dan gitar. Apa lagi yang mereka nyanyikan kalau bukan keroncong. Malam itu tepat 17 Agustus 2008. Mas Ages, penggesek biola dalam kelompok keroncong itu siang harinya ikut tampil di istana saat upacara pengibaran sang saka merah putih. Malam ini pria gendut sang maestro biola itu masih memakai celana warna putih dan kaos oblong warna merah. Tubuhnya seperti dibalut bendera merah putih.

Seorang lelaki paruh baya sedang menari ringan sambil menggerakkan mulutnya menyanyikan sesuatu. Lelaki tua berbaju kaos berkerah dan celana panjang yang telah dipakai selama lebih dari satu tahun itu seakan menyatu dengan terang merkuri.

Dialah Pak Edi. Dia piawai menyanyi langgam keroncong. Dia berasal dari Brebes, kota dengan bahasa ngapak-ngapak itu. Melihat Pak Edi yang telah berusia di atas lima puluh tahun itu seperti melihat almarhum bapakku. Jangan terkejut, dialah penjaga Taman Suropati dan tukang sapu yang membersihkan setiap “kekotoran” setiap hari.

Pak Edi menjadi “bapak” bagi para pemain biola di Taman Suropati (Tamsur). Setiap bersama beliau, nasehatnya selalu mengalir tak pernah henti. Nasehat yang enak didengar tanpa terdengar seperti menggurui. Beliau teman yang enak diajak ngobrol oleh anak-anak Tamsur.

Beliau mampu menguraikan nilai-nilai jawa dalam setiap langgam, pantun, atau pepatah yang pernah aku dengar di tempat kelahiranku. Aku seperti menemukan oase di tengah padang pasir tatkala mendengar uraian sederhana yang dalam yang beliau katakan di depan anak-anak Tamsur yang terdiri dari para pengamen dan mereka yang ingin mencari keteduhan dan kejukan di tengah panasnya Metropolitan ini.

Setiap hari pak Edi tidur di taman itu. Senyumnya yang ramah tidak pernah dibuat-buat. Hatinya yang tulus menemani siapa saja yang meluangkan waktu singgah di Taman Suropati. [bersambung]

Tidak ada komentar: