Cari di Sini

Selasa, 15 Juni 2010

Musik Melatih Ketegasan (musical journey 3)


“Musik itu melatih ketegasan,” ucap Batara, seorang pria paruh abad yang oleh anak-anak Taman Suropati (Tamsur) disebut maestronya biola.

Mmm, dalam hatiku. Aku masih belum paham dengan penjelasan lelaki yang rambut keritingnya dikucir ke belakang itu. Sekilas kulihat, pak Batara itu seperti empu pembuat keris di sinetron-sinetron atau film silat Indonesia. Aku tertawa sendiri, sekaligus kagum.

Pak Batara malam itu duduk di atas kursi besi yang terletak sekitar sepuluh meter dari kolam air mancur yang airnya saat ini tidak muncrat. Sekitar sepuluh lebih anak biola Tamsur mengelilinginya.

“Mengapa aku katakan musik itu melatih ketegasan?” kata Pak Batara, seakan tahu bahwa aku dan anak-anak Tamsur lain sedang mereka jawaban pertanyaan itu di benak kami masing-masing. Semuanya terdiam, menunggu kalimat lanjutan keluar dari mulut beliau.

Sementara pohon-pohon sengon yang usianya sudah ratusan tahun di samping kami pun ikut diam sambil menggugurkan beberapa helai daunnya yang tua. Musim penghujan rupanya penantian panjang bagi pohon yang mulai merangas itu.

“Ketika kalian menggesek biola, kalian harus bisa membuat keputusan dalam sepersekian detik, apakah nada biola itu satu ketuk, setengah ketuk, seperempat ketuk, atau seperenambelas ketuk,” papar beliau sambil tersenyum, tahu bahwa semua orang menunggu penjelasannya.

“Itulah yang kumaksud ketegasan. Seorang pemusik harus tegas memutuskan sepanjang apa nada yang akan dimainkannya, atau senar mana yang harus ditekan dan digesek. Karena itu, musik dapat menempa ketegasan seseorang,” ujar Pak Batara.

Semua yang berada di sana semakin jelas. Itu menjawab klaim yang salah selama ini bahwa musik membuat seorang jadi cengeng atau terlalu melankolis. Justru sebaliknya, musik akan menempa seseorang memiliki jiwa yang tegas, tentu saja, tetap peka.

Aku baru paham makna itu malam ini, saat Pak Batara memberi penjelasan rinci tentang musik. Musical Journey yang kulalui belumlah apa-apa dibandingkan dengan banyak orang lain di dunia ini. Aku mulai paham dengan berbagai filosofi tentang biola, tentang musik, tentang nada, dan terutama tentang persahabatan unik yang aku temukan di Tamsur ini. Mmmm, semuanya indah….

Perbincangan itu terus berlanjut. Sesekali Pak Batara menggesek Cello-nya. Beliau mendendangkan Swan Lake melalui gesekan Cello yang tegas, namun terasa lembut di telinga kami.

Pantas Pak Batara disebut sebagai maestro biola. Ujung jarinya seakan-akan memiliki mata saat menari di antara empat senar biola saat memainku biola Johann Sebastian Bach milikku, yang lebih suka kusebut Lintang itu.

Jari-jari Pak Batara beralih cepat dari satu nada ke nada lain dalam waktu kurang dari satu detik. Dan tentu saja, jangan tanya, seindah apa Movement-nya Johann Sebastian Bach, Four Season-nya Vivaldi atau Beethoven, mengalun memenuhi udara Tamsur malam itu.

Lampu merkuri menemani kami dengan cahayanya yang kekuningan. Beberapa kelelawar tampak terbang, meski aku tahu di sana tidak ada buah-buahan. Mungkin mereka sedang berburu nyamuk atau tertarik dengan getaran resonansi yang dihasilkan gesekan Cello dan biola anak-anak Tamsur. [*]

Tidak ada komentar: